“Berkibar jilbabmu. Di setiap waktu. Di sepanjang
jalan kulihat kamu. Gebyar jilbabmu meredam nafsu. Busanamu menyejukkan kalbu…(Jilbab
Putih). Kutipan lagu qasidah tersebut pastinya sudah tidak asing lagi di telinga
kita. Jika kita mau menganalisa tiap baris liriknya, kita akan dengan mudah
menemukan arti jilbab beserta fungsinya.
Jilbab sebenarnya merupakan kata populer dari khimar.
Khimar adalah bahasa Arab yang berarti kain penutup kepala. Mengacu pada kata
khimar dan lirik “berkibar jilbabmu”, yang dapat dikategorikan sebagai jilbab
adalah kain penutup kepala yang cukup longgar dan menutup dada. Adapun kain
penutup kepala yang sekadar menutup rambut ataupun menutup seluruh kepala dan
leher namun melekat dan ketat, belum bisa dikategorikan sebagai jilbab. Mengapa
demikian? Karena “jilbab” yang ketat dan melekat tidak mungkin dapat berkibar.
Mengenai fungsi jilbab itu sendiri, dari lirik “Gebyar
jilbabmu meredam nafsu, busanamu menyejukkan kalbu”, kita bisa mengetahui
fungsi utama jilbab adalah sebagai hijab (penutup aurat). Selain itu ada
beberapa fungsi lain seperti menjaga kesehatan rambut dan kulit kepala. Namun,
apakah para jilbabers (baca: pemakai
jilbab) saat ini mengutamakan fungsi jilbab sebagai hijab?
Sekitar tahun 70-an, jilbab masih merupakan “benda
asing” di Indonesia. Baru segelintir perempuan yang memakainya. Itu pun sempat
menimbulkan perdebatan. Contohnya saja saat beberapa siswi sekolah negeri mulai
mengenakan jilbab. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada saat itu
sampai-sampai berdebat dengan MUI karena penggunaan jilbab di sekolah negeri
dianggap menyalahi peraturan seragam sekolah. Hal ini salah satunya disebabkan
oleh paradigma yang keliru. Sebagian besar masyarakat Indonesia masih menganggap
bahwa jilbab hanya diwajibkan bagi perempuan Arab karena perintah berjilbab
turun di tanah Arab. Oleh karena itu, sejak abad ke-7 hingga sekarang, tidak
sedikit masyarakat Indonesia, bahkan masyarakat dunia yang menganggap jilbab
adalah sebuah budaya Arab semata. Namun, benarkah jilbab hanya budaya Arab
semata? Tentu saja tidak. Pada hakikatnya, perintah untuk berjilbab yang turun
di tanah Arab pada waktu itu berlaku untuk seluruh muslimah di negeri mana pun
dan sampai kapan pun.
Terkait fenomena bertambahnya jilbabers dari masa ke masa, nampaknya mahasiswi muslim di beberapa
kampus pun tidak mau ketinggalan. Dari waktu ke waktu, jilbabers di kampus kian membludak. Hal ini didukung pula oleh fashion designer yang semakin giat
mengembangkan model jilbab yang bervariasi, colorful,
dan nyaman dipakai, sehingga para jilbabers
tetap bisa tampil gaya dan modis. Sayangnya, sebagian model jilbab yang
bervariasi tersebut kurang memperhatikan syarat jilbab yang seharusnya cukup
longgar, menutup dada, tidak ketat dan tidak transparan
Jadi, fenomena maraknya jilbabers ini bisa dikatakan sebagai respon positif sebagian
mahasiswi di beberapa kampus. Namun bagi sebagian lainnya, respon mereka bisa
dikatakan kurang positif mengingat masih banyak mahasiswi muslim yang enggan
berhijab. Dan sebagian dari mereka yang telah berhijab pun masih melaksanakannya
dengan setengah hati; di kampus berjilbab, di luar kampus berbusana “kurang
lengkap”. Kemudian, apa sebenarnya arti jilbab bagi Anda? Hijab, fashion, atau
budaya Arab?
yup, monggo... :)
ReplyDeletemasama :)
DeleteBudaya Arab: Cuma Jubah dan Jenggot? :D http://helmijuni.blogspot.in/2013/04/budaya-arab-cuma-jubah-dan-jenggot-d.html budaya arab itu memang oke2 saja kok. silakan baca artikel ttg budaya Arab ini. Trims
ReplyDeletemakasi yaaa ^^
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDelete