Saturday 13 April 2013

Jilbab: Hijab, Fashion, atau Budaya Arab?


“Berkibar jilbabmu. Di setiap waktu. Di sepanjang jalan kulihat kamu. Gebyar jilbabmu meredam nafsu. Busanamu menyejukkan kalbu…(Jilbab Putih). Kutipan lagu qasidah tersebut pastinya sudah tidak asing lagi di telinga kita. Jika kita mau menganalisa tiap baris liriknya, kita akan dengan mudah menemukan arti jilbab beserta fungsinya.

Jilbab sebenarnya merupakan kata populer dari khimar. Khimar adalah bahasa Arab yang berarti kain penutup kepala. Mengacu pada kata khimar dan lirik “berkibar jilbabmu”, yang dapat dikategorikan sebagai jilbab adalah kain penutup kepala yang cukup longgar dan menutup dada. Adapun kain penutup kepala yang sekadar menutup rambut ataupun menutup seluruh kepala dan leher namun melekat dan ketat, belum bisa dikategorikan sebagai jilbab. Mengapa demikian? Karena “jilbab” yang ketat dan melekat tidak mungkin dapat berkibar.

Mengenai fungsi jilbab itu sendiri, dari lirik “Gebyar jilbabmu meredam nafsu, busanamu menyejukkan kalbu”, kita bisa mengetahui fungsi utama jilbab adalah sebagai hijab (penutup aurat). Selain itu ada beberapa fungsi lain seperti menjaga kesehatan rambut dan kulit kepala. Namun, apakah para jilbabers (baca: pemakai jilbab) saat ini mengutamakan fungsi jilbab sebagai hijab?

Sekitar tahun 70-an, jilbab masih merupakan “benda asing” di Indonesia. Baru segelintir perempuan yang memakainya. Itu pun sempat menimbulkan perdebatan. Contohnya saja saat beberapa siswi sekolah negeri mulai mengenakan jilbab. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada saat itu sampai-sampai berdebat dengan MUI karena penggunaan jilbab di sekolah negeri dianggap menyalahi peraturan seragam sekolah. Hal ini salah satunya disebabkan oleh paradigma yang keliru. Sebagian besar masyarakat Indonesia masih menganggap bahwa jilbab hanya diwajibkan bagi perempuan Arab karena perintah berjilbab turun di tanah Arab. Oleh karena itu, sejak abad ke-7 hingga sekarang, tidak sedikit masyarakat Indonesia, bahkan masyarakat dunia yang menganggap jilbab adalah sebuah budaya Arab semata. Namun, benarkah jilbab hanya budaya Arab semata? Tentu saja tidak. Pada hakikatnya, perintah untuk berjilbab yang turun di tanah Arab pada waktu itu berlaku untuk seluruh muslimah di negeri mana pun dan sampai kapan pun.

Terkait fenomena bertambahnya jilbabers dari masa ke masa, nampaknya mahasiswi muslim di beberapa kampus pun tidak mau ketinggalan. Dari waktu ke waktu, jilbabers di kampus kian membludak. Hal ini didukung pula oleh fashion designer yang semakin giat mengembangkan model jilbab yang bervariasi, colorful, dan nyaman dipakai, sehingga para jilbabers tetap bisa tampil gaya dan modis. Sayangnya, sebagian model jilbab yang bervariasi tersebut kurang memperhatikan syarat jilbab yang seharusnya cukup longgar, menutup dada, tidak ketat dan tidak transparan

Jadi, fenomena maraknya jilbabers ini bisa dikatakan sebagai respon positif sebagian mahasiswi di beberapa kampus. Namun bagi sebagian lainnya, respon mereka bisa dikatakan kurang positif mengingat masih banyak mahasiswi muslim yang enggan berhijab. Dan sebagian dari mereka yang telah berhijab pun masih melaksanakannya dengan setengah hati; di kampus berjilbab, di luar kampus berbusana “kurang lengkap”. Kemudian, apa sebenarnya arti jilbab bagi Anda? Hijab, fashion, atau budaya Arab?

Tuesday 9 April 2013

Rasanya pindah rumah itu….


Pindah rumah, berjuta rasanya…
Seperti halnya jatuh cinta, pindah rumah pun berjuta rasanya. Memang tak sedikit orang yang sudah pernah mengalami pindah rumah, tapi biarlah coretan kecil ini aku bagikan kepada mereka yang ingin tahu rasanya pindah rumah tanpa harus mengalaminya.

Hari Sabtu, 30 Maret 2013, tepat pukul 9.00 WIB, mobil pick up pesanan kakakku datang. Satu per satu perabot rumah tangga yang sebelumnya telah dikemas pun siap dimuat. Hatiku berdesir, tak terasa sebentar lagi masa kecilku, tawa bahagiaku, tangis manjaku, dan segala torehan memori keluargaku akan segera diangkut, bersama-sama dengan perabot itu.

Sekitar hampir setahun yang lalu, saat keluargaku memutuskan untuk segera menjual rumah kami, kekhawatiran-kekhawatiran akan kehilangan rumah tercinta dan kenangan-kenangan indah keluarga mulai berkelebat di kepalaku. Hingga beberapa bulan setelah itu, saat keluargaku harus menandatangani surat penjualan rumah, hatiku serasa teriris. Di satu sisi, aku merasa lega karena keluargaku telah memenuhi hak orang lain yang masih tertinggal di rumah kami. Namun di sisi yang lain, aku merasa sangat kehilangan. Tak bisa kubayangkan apa yang akan terjadi pada rumah kami yang penuh kenangan itu. Mungkin saja ditempati oleh pemilik yang baru, atau bisa saja dihancurkan untuk kepentingan selain itu.

Home Sweet Home (Not Anymore), puisi yang beberapa bulan lalu aku publish di blog ini, adalah puisi yang sengaja aku tulis untuk menggambarkan bagaimana rasanya akan kehilangan rumah yang ditinggali dari kecil hingga dewasa seperti ini. Namun Alhamdulillah, saat pindah rumah, perlahan-lahan hati ini mulai tenang. Ternyata ada hikmah di balik semuanya. Dengan berpindah rumah, kebersamaan dalam keluarga kami makin erat karena mau tak mau mau kami harus kompak bekerjasama selama berbulan-bulan, mulai dari mencari rumah baru, menjadi kuli bersama saat memperbaiki rumah, mengemasi perabot rumah bersama-sama, menyiapkan segala keperluan pindah rumah, dan hal-hal kecil lain yang tak terhitung jumlahnya.

Kini, aku mulai bisa mengikhlaskan semuanya. Rumah itu. Masa kecilku di rumah itu. Dan segala kenangan bersama abah tercintaku. Aku tahu rumah itu bisa saja hancur, tapi kenangan indah di dalamnya tak akan pernah lebur. Karena memori berharga semasa disitu akan senantiasa bersemayam di hatiku, kekal dan abadi hingga habis masaku.

Minggu, 31 Maret 2013
Senja hari di dalam kereta kaligung mas